Oleh, Nanang A. Daud (Peneliti Sapta Cita Institute)
Pada abad ke-21, dunia menghadapi dua tantangan besar yang saling terkait: kerusakan lingkungan dan ketidaksetaraan sosial. Perubahan iklim yang semakin parah, hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan menuntut kita untuk beralih ke model ekonomi yang lebih berkelanjutan. Sementara itu, ketimpangan ekonomi yang semakin lebar memperburuk ketidakadilan sosial, menciptakan jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin, dan memperburuk krisis sosial di banyak negara. Oleh karena itu, penting untuk mengintegrasikan pengembangan sosial dan lingkungan dalam kerangka ekonomi yang ramah lingkungan dan inklusif.
Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana model ekonomi yang ramah lingkungan dan inklusif dapat diterapkan untuk mengatasi tantangan lingkungan sekaligus menciptakan kesetaraan sosial. Kami juga akan menganalisis kebijakan yang mendukung transisi ini serta memberikan contoh nyata dari negara-negara yang telah berhasil mengimplementasikan prinsip-prinsip tersebut.
Mengapa Model Ekonomi Ramah Lingkungan dan Inklusif Dibutuhkan?
a. Tantangan Lingkungan
Perubahan iklim adalah ancaman terbesar bagi keberlanjutan hidup manusia. Menurut laporan dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), suhu bumi diperkirakan akan meningkat hingga 1,5°C dalam beberapa dekade mendatang, yang akan menyebabkan bencana alam yang semakin sering dan parah, seperti banjir, kebakaran hutan, dan kekeringan. Emisi gas rumah kaca yang tinggi, deforestasi, dan pencemaran udara semakin memperburuk kondisi planet kita.
Selain itu, kehilangan keanekaragaman hayati juga menjadi masalah besar. United Nations Environment Programme (UNEP) memperkirakan bahwa satu juta spesies terancam punah karena aktivitas manusia yang merusak habitat alami mereka. Kehilangan ini berpotensi merusak ekosistem yang menopang kehidupan manusia, seperti ketahanan pangan, kesehatan, dan kualitas udara.
b. Ketimpangan Sosial
Di sisi lain, ketimpangan sosial semakin tajam. Data dari Oxfam menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai lebih dari setengah kekayaan dunia, sementara lebih dari 3 miliar orang hidup dengan penghasilan kurang dari $5,50 per hari. Ketidaksetaraan ini menciptakan ketegangan sosial, memperburuk kemiskinan, dan membatasi akses masyarakat terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.
Dalam konteks ini, model ekonomi yang inklusif dan ramah lingkungan menjadi sangat relevan. Ekonomi yang inklusif tidak hanya menciptakan lapangan pekerjaan, tetapi juga memberikan akses yang adil terhadap sumber daya dan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat, terutama yang kurang beruntung.
Model Ekonomi Ramah Lingkungan dan Inklusif
Untuk mengatasi tantangan ini, ada beberapa model ekonomi yang dapat diterapkan. Berikut adalah penjelasan tentang beberapa model yang menggabungkan aspek keberlanjutan lingkungan dan sosial:
a. Ekonomi Sirkular
Ekonomi sirkular berfokus pada pengurangan limbah dan penggunaan kembali sumber daya alam. Prinsip utama dari ekonomi sirkular adalah mengubah pola produksi dan konsumsi agar produk dapat digunakan kembali, didaur ulang, atau diperbaharui, daripada dibuang begitu saja. Hal ini tidak hanya mengurangi tekanan pada lingkungan, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan dalam industri daur ulang dan pengelolaan limbah.
Sebagai contoh, banyak perusahaan global seperti Patagonia dan IKEA telah mengadopsi prinsip ekonomi sirkular dengan menawarkan produk yang dapat didaur ulang atau diperbaharui. Di tingkat masyarakat, inisiatif lokal yang berbasis pada ekonomi sirkular, seperti pertanian perkotaan dan program daur ulang, telah berhasil menciptakan peluang kerja sambil mengurangi dampak lingkungan.
b. Ekonomi Hijau
Ekonomi hijau mengacu pada sistem ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan keadilan sosial, sambil mengurangi kerusakan lingkungan. Dalam ekonomi hijau, fokus utama adalah pengembangan energi terbarukan, pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, dan pengurangan emisi karbon.
Negara-negara seperti Denmark dan Swedia telah berhasil menerapkan ekonomi hijau. Denmark, misalnya, telah menjadi salah satu pemimpin dunia dalam teknologi energi angin dan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 70% pada tahun 2030. Negara ini telah menciptakan ribuan lapangan pekerjaan hijau, yang juga memberikan kesempatan bagi masyarakat berpendapatan rendah untuk terlibat dalam sektor energi terbarukan.
c. Ekonomi Berbasis Komunitas
Ekonomi berbasis komunitas menekankan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal dan menciptakan ekonomi yang adil. Dalam ekonomi berbasis komunitas, penduduk lokal diberikan kesempatan untuk mengelola proyek-proyek yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan, seperti energi terbarukan, pertanian berkelanjutan, dan konservasi alam.
Di Costa Rica, misalnya, program Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Services/PES) memberikan insentif kepada pemilik lahan untuk menjaga hutan dan sumber daya alam. Inisiatif ini tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal, seperti petani yang menerima pembayaran untuk menjaga hutan mereka agar tetap utuh.
d. Ekonomi Pemberdayaan Sosial
Ekonomi pemberdayaan sosial berfokus pada menciptakan kesempatan ekonomi bagi kelompok yang paling terpinggirkan dalam masyarakat. Melalui program pelatihan keterampilan, pembiayaan mikro, dan dukungan terhadap usaha kecil menengah (UKM), ekonomi pemberdayaan sosial dapat mengurangi ketimpangan sosial sambil menciptakan lapangan pekerjaan yang ramah lingkungan.
Grameen Bank di Bangladesh adalah contoh sukses dari model ini. Bank ini memberikan pinjaman mikro kepada individu yang tidak memiliki akses ke sistem perbankan tradisional, dengan fokus pada pemberdayaan perempuan dan masyarakat miskin. Program serupa dapat diterapkan untuk mendukung usaha kecil yang mengembangkan produk ramah lingkungan, seperti pertanian organik atau produk berbasis daur ulang.
Kebijakan yang Mendukung Ekonomi Ramah Lingkungan dan Inklusif
Untuk menciptakan ekonomi ramah lingkungan dan inklusif, pemerintah perlu merancang kebijakan yang mendukung transisi ini. Beberapa kebijakan penting yang dapat diterapkan meliputi:
a. Pajak Karbon dan Insentif Energi Hijau
Salah satu langkah kunci dalam transisi menuju ekonomi hijau adalah penerapan pajak karbon pada sektor-sektor yang menghasilkan emisi tinggi, seperti energi fosil dan industri berat. Pajak ini akan mendorong perusahaan untuk berinvestasi dalam teknologi yang lebih bersih dan mengurangi emisi mereka. Pajak karbon yang dikumpulkan dapat digunakan untuk mendanai proyek-proyek yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan sosial, seperti program energi terbarukan dan pendidikan untuk masyarakat miskin.
Selain itu, memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam energi hijau, kendaraan listrik, dan teknologi ramah lingkungan akan mendorong adopsi teknologi yang lebih bersih.
b. Pembiayaan untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Pemerintah dan lembaga keuangan dapat menyediakan pembiayaan mikro dan kredit hijau untuk mendukung UKM yang bergerak dalam sektor ekonomi ramah lingkungan. Ini akan menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat yang kurang terlayani, terutama di daerah pedesaan atau terpencil.
c. Pendidikan dan Pelatihan Keterampilan
Pendidikan dan pelatihan keterampilan yang berfokus pada teknologi hijau, pertanian berkelanjutan, dan pengelolaan sumber daya alam akan mempersiapkan generasi mendatang untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan ketimpangan sosial. Program pendidikan ini harus menjangkau masyarakat luas, memberikan akses bagi mereka yang kurang beruntung untuk mendapatkan keterampilan yang diperlukan di sektor-sektor baru yang berkelanjutan.
4. Contoh Kasus Sukses dan Bukti Konkrit
Beberapa negara telah berhasil mengimplementasikan kebijakan yang mendukung ekonomi ramah lingkungan dan inklusif. Denmark dan Swedia, misalnya, telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon secara signifikan dan berinvestasi dalam energi terbarukan. Costa Rica mengandalkan sistem pembayaran jasa lingkungan untuk melindungi keanekaragaman hayati dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Data dari International Renewable Energy Agency (IRENA) menunjukkan bahwa sektor energi terbarukan telah menciptakan lebih dari 12 juta pekerjaan di seluruh dunia, dengan potensi untuk menciptakan lebih banyak pekerjaan di masa depan. Hal ini membuktikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga dapat menciptakan peluang ekonomi yang lebih inklusif.
Kesimpulan
Integrasi pengembangan sosial dan lingkungan melalui model ekonomi yang ramah lingkungan dan inklusif adalah kunci untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Dengan mengadopsi kebijakan yang mendukung energi terbarukan, ekonomi sirkular, dan pemberdayaan sosial, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat harus bekerja bersama untuk mewujudkan visi ekonomi yang berkelanjutan ini.
Jika negara-negara di dunia dapat belajar dari contoh-contoh sukses seperti Denmark, Swedia, dan Costa Rica, kita dapat mengatasi tantangan lingkungan dan sosial secara bersamaan. Kini saatnya kita bertindak untuk menciptakan ekonomi yang tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga memberi manfaat bagi seluruh umat manusia, baik di tingkat lokal maupun global.
Daftar Pustaka
World Bank. (2023). Sustainable Development and Inclusive Growth. World Bank
United Nations Environment Programme (UNEP). (2022). Green Economy and Sustainable Development.UNEP.
OECD. (2021). Inclusive Growth and Sustainable Development. OECD
International Labour Organization (ILO). (2021). Inclusive Economies and Jobs. ILO
IPCC. (2023). Climate Change and Sustainable Development. IPCC